Dr. Herman Hofi: Pelabuhan Kijing Belum Optimal, Kalbar Rugi Triliunan Rupiah Tiap Tahun

LINTASPONTIANAK – Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar, angkat bicara terkait kondisi terkini Pelabuhan Internasional Kijing yang dinilai belum optimal dalam mengemban perannya sebagai gerbang ekspor utama Kalimantan Barat.

Meski digadang-gadang menjadi pelabuhan kebanggaan masyarakat Kalbar dan telah diresmikan sebagai proyek strategis nasional pada tahun 2022, kenyataannya, pelabuhan ini masih belum mampu memenuhi harapan sebagai pusat logistik dan ekspor regional.

Pelabuhan Kijing dibangun untuk menggantikan Pelabuhan Dwikora di Pontianak yang memiliki banyak keterbatasan, terutama terkait pendangkalan alur dan keterbatasan lahan. Kijing, yang terletak strategis di Selat Karimata dan dekat dengan pasar internasional seperti India, Tiongkok, dan negara-negara Asia Timur lainnya, dirancang untuk melayani kapal-kapal berkapasitas besar serta menangani komoditas unggulan Kalbar seperti crude palm oil (CPO), bauksit, karet dan lain-lainnya.

Namun, menurut Dr. Herman, pembenahan Pelabuhan Kijing hingga kini terkesan dilakukan setengah hati. “Fasilitas vital seperti crane dan tangki timbun belum memadai, infrastruktur jalan masih buruk, dan tidak adanya integrasi dengan kawasan industri menjadikan pelabuhan ini belum bisa dimanfaatkan secara maksimal,” tegasnya. Jumat, 2 Mei 2025.

Kondisi tersebut berdampak langsung pada rendahnya pemanfaatan pelabuhan untuk ekspor. Sebagian besar CPO Kalbar masih harus dikirim melalui pelabuhan di luar provinsi, seperti di Sumatera dan Jawa. Akibatnya, Kalbar kehilangan potensi pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak ekspor yang jumlahnya tidak sedikit.

Dr. Herman memaparkan, produksi CPO Kalbar mencapai sekitar 4,3 juta ton per tahun. Jika ekspor dilakukan melalui Pelabuhan Kijing, diperkirakan biaya logistik akan menurun, efisiensi perusahaan sawit meningkat, dan pendapatan dari pajak ekspor bisa mencapai triliunan rupiah per tahun.

“Ekspor 1 juta ton CPO dengan harga USD 650 per ton dapat menghasilkan pajak sekitar USD 50 per ton, atau sekitar Rp750 miliar. Jika 3 juta ton diekspor, potensi pajaknya bisa mencapai Rp1,5 triliun. Ini angka yang sangat signifikan untuk pendapatan daerah,” ujarnya.

Sayangnya, Pelabuhan Kijing masih belum dilengkapi tangki timbun yang diperlukan untuk menyimpan CPO sebelum diekspor, sehingga proses bongkar muat menjadi lambat dan tidak efisien. Selain itu, infrastruktur jalan yang menghubungkan kawasan industri sawit di pedalaman Kalbar ke Pelabuhan Kijing juga masih belum memadai. Perjalanan dari Pontianak ke Kijing yang memakan waktu lebih dari 3 jam dianggap tidak efisien oleh para pelaku industri.

Tak hanya itu, rencana integrasi pelabuhan dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mempawah juga belum menunjukkan progres berarti. Minimnya fasilitas pengolahan CPO di sekitar pelabuhan menyebabkan bahan baku tetap harus dikirim ke luar daerah untuk diproses atau diekspor. Ini jelas menjadi kontraproduktif dengan semangat hilirisasi industri yang sedang digalakkan pemerintah pusat.

Dr. Herman juga menyoroti lemahnya peran operator pelabuhan, yakni PT Pelindo Cabang Pontianak, yang dinilai tidak maksimal dalam pengelolaan dan pengembangan pelabuhan.

“Manajemen Pelindo justru terkesan lebih fokus mengutamakan anak perusahaan untuk mendominasi penyediaan jasa bongkar muat, bukan memperbaiki layanan pelabuhan secara keseluruhan,” ujarnya kritis.

Lebih jauh, Dr. Herman menyatakan bahwa pembenahan Pelabuhan Kijing seharusnya menjadi prioritas dibandingkan dengan mengejar status Bandara Supadio menjadi bandara internasional.

“Apa gunanya bandara internasional jika ekspor utama kita justru tidak bisa dilakukan dari pelabuhan sendiri? Kita kehilangan potensi fiskal yang sangat besar dan memperlemah daya saing komoditas Kalbar di pasar global,” tandasnya.

Pelabuhan Kijing sejatinya diharapkan menjadi pusat logistik Kalbar dan menjadi hub ekspor strategis yang akan memperkuat posisi Kalbar di jalur perdagangan internasional. Namun, tanpa komitmen dan langkah konkret dari pemerintah pusat, daerah, dan operator pelabuhan, potensi besar ini akan terus terbuang percuma.